Indonesia di Tengah Krisis Ekonomi Dunia

Di awal 2020, dunia tampaknya dirundung banyak persoalan. Dari Perang Dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina hingga wabah virus corona.

Situasi global itu tentu akan berdampak bagi industri di Indonesia.

Untuk itulah Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) DKI Jaya dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menggelar diskusi “Indonesia 2020 Business Outlook” di The Tribrata, Jakarta Selatan, Rabu (4/03). Tujuannya untuk mencari kisi-kisi atau ‘outlook’ dunia perbisnisan seperti apa ke depannya.

Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, wabah virus corona berdampak luar biasa bagi ekonomi dunia. “Di Cina terasa. Di Indonesia beberapa hari ini terasa. Kerja sama bilateral terganggu. AS juga sama kalau dilihat dari stock marketnya. Suka ga suka, kegiatan konsumsi investasi menurun. Indonesia juga saya.kira akan terkoreksi yang tadinya 5%, menjadi 4%,” sambungnya.

Menurutnya, salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi krisis itu adalah memberlakukan omnibus law. “Salah satunya itu membuka investasi. Membuka lapangan kerja, kesempatan kerja pasti ada. Ada juga ada yang mengenai tax, sehingga tax nya lebih kompetitif. Meski ya saat ini banyak yang berpikir negatif,” kata Erick.

Daya beli dan investasi, menurut Erick, merupakan kekuatan Indonesia yang sedang dijaga presiden. “Jangan panik, karena panik ga nyelesaikan masalah. Confidence itu mesti dijaga, jangan panik yang ga penting. Bahkan presiden sudah mau menerapkan empat langkah. Misalnya, instrumen moneter sudah disiapkan. Lalu, perjalanan dalam negeri dibalance,” katanya.

“The show must go on. Jangan terbalik,” pungkas Erick.

Komisaris Utama Bank Mandiri Chatib Basri mengatakan bahwa terdapat dua hal yang terjadi di tengah krisis–di bidang ekonomi–dunia saat ini. “Pertama, collapse permintaan. Dan kedua, collapse supplier,” jelasnya.

Ia mengingatkan, posisi Cina dalam perdagangan internasional sangat penting.

“Banyak barang jadi di dunia ini disupply dari Cina. Dia memproduksi barang jadi. Yang beli Eropa, AS, dan lain-lain. Saat Cina collapse, dia ga bisa memasok barang yang dibutuhkan peminta. Yang biasanya memasok dari Cina, ga tahu harus memasok dari mana. Ini namanya demand shock,” jelas Chatib.

Ketika Cina mengalami krisis, maka negara yang telah bergantung padanya tentu terdampak.

“Seperti begini: cara terbaik menghindari perceraian adalah tidak menikah. Itu sama dengan perdagangan internasional. Cara mengurangi resiko integrasi global adalah dengan tidak berdagang,” tuturnya, disambut riuh tawa peserta.